Tanaman yang Bersifat Koagulasi
Diposting oleh
gudang_ilmu
|
Senin, 19 November 2012
|
|
Sebelum kita membahas tanaman-tanaman apa aja yang berperan sebagai koagulan. Ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu apa itu koagulasi.
Koagulasi adalah proses destabilisasi koloid dengan bantuan koagulan.
Senyawa koagulan adalah senyawa yang mempunyai kemampuan
mendestabilisasi koloid dengan menetralkan muatan listrik pada permukaan
koloid sehingga terbentuk inti gumpalan (inti flok) dan dapat bergabung
satu sama lain membentuk flok dengan ukuran yang lebih besar sehingga
mudah mengendap (Sawyer, 2003). Proses koagulasi hanya dapat berlangsung
bila ada pengadukan. Ada tiga faktor yang menentukan keberhasilan suatu
proses koagulasi yaitu:
Koagulan digunakan secara umum dalam proses pengolahan air untuk
berbagai tujuan. Prinsip kerjanya adalah untuk mendestabilisasi partikel
tersuspensi (koloid) dan memperbesar laju pembentukan flok.
Salah satu alternatif yang tersedia secara lokal adalah penggunaan
koagulan alami dari tanaman, yang barangkali, dapat diperoleh di sekitar
kita. Penelitian dari The Environmental Engineering Group di
Universitas Leicester, Inggris, telah lama mempelajari potensi
penggunaan berbagai koagulan alami dalam proses pengolahan air skala
kecil, menengah, dan besar. Penelitian tersebut dipusatkan terhadap
potensi koagulan dari tepung biji tanaman Moringa oleifera.
Tanaman tersebut banyak tumbuh di India bagian utara, tetapi sekarang
sudah menyebar ke mana-mana ke seluruh kawasan tropis, termasuk
Indonesia. Di Indonesia tanaman tersebut dikenal sebagai tanaman kelor
dengan daun yang kecil-kecil. Selain itu, alternatif lain adalah dengan
pemanfaatan Chitosan dan Chitin yang terdapat pada limbah udang.
Pemanfaatan Biji Kelor
Biji kelor merupakan alternatif koagulan organik. Biji kelor sebagai
koagulan dapat digunakan dengan dua cara yaitu biji kering dengan
kulitnya dan biji kering tanpa kulitnya (Ndabigengesere dkk, 1995).
Hasil analisis elemen pada biji kelor untuk biji dengan kulit adalah
6,1% N; 54,8% C; dan 8,5% H, sedangkan untuk biji tanpa kulit adalah
5,0% N, 53,3% C, dan 7,7% H (dalam % berat) sedang sisanya terdiri atas
oksigen (Ndabigengesere dkk, 1995).
Pohon kelor diketahui mengandung
polielektrolit kationik dan flokulan alamiah dengan komposisi kimia
berbasis polipeptida yang mempunyai berat molekul mulai dari 6000 sampai
16000 dalton, mengandung hingga 6 asam-asam amino terutama asam
glutamat, mentionin, dan arginin (Jahn, 1986). Sebagai bioflokulan, biji
kelor kering dapat digunakan untuk mengkoagulasi-flokulasi kekeruhan
air (Jahn, 1986; Sani, 1990; Bina, 1991 dalam Muyibi dan Evison, 1995;
Narasiah dkk, 2002).
Efektivitas koagulasi oleh biji kelor ditentukan oleh kandungan
protein kationik bertegangan rapat dengan berat molekul sekitar 6,5
kdalton. Zat aktif (active agent) yang terkandung dalam biji kelor yaitu
4α L-rhamnosyloxy-benzyl-isothiocyanate (Sutherland dkk, 1990; Muyibi
dan Evison, 1995). Prinsip utama mekanisme koagulasinya adalah adsorpsi
dan netralisasi tegangan protein tersebut (Ndabigengesere dkk, 1995).
Dalam proses koagulasinya, biji kelor memberikan pengaruh yang kecil
terhadap derajat keasaman dan konduktivitas. Jumlah lumpur yang
diproduksi biji kelor lebih sedikit dari jumlah lumpur yang diproduksi
oleh ferro sulfat sebagai koagulan (Chandra, 1998).
Bahan koagulan dalam biji kelor adalah protein kationik yang larut
dalam air. Potensial zeta larutan 5% biji kelor tanpa kulit adalah
sekitar +6 mV (Ndabigengesere dkk, 1995). Hal ini menunjukkan bahwa
larutan ini didominasi oleh tegangan positif, meskipun merupakan
campuran heterogen yang kompleks. Potensial zeta air sintetik adalah
sekitar -46 mV. Hal ini menunjukkan bahwa pada pH netral,
partikel-partikel bermuatan negatif. Akibatnya, koagulasi partikel
tersuspensi dengan biji kelor dipengaruhi oleh proses destabilisasi
tegangan negatif koloid oleh polielektrolit kationik.
Mekanisme yang paling mungkin terjadi dalam proses koagulasi adalah
adsorpsi dan netralisasi tegangan atau adsorpsi dan ikatan antar
partikel yang tidak stabil. Dari kedua mekanisme tersebut, untuk
menentukan mekanisme mana yang terjadi merupakan suatu hal yang sangat
sukar karena kedua mekanisme tersebut mungkin terjadi secara simultan.
Tapi, umumnya mekanisme koagulasi dengan biji kelor adalah adsorpsi dan
netralisasi tegangan (Sutherland dkk, 1990).
Caranya sangat mudah
Tidak berbahaya bagi kesehatan
Dapat menjernihkan air lumpur maupun air keruh
Kualitas air lebih baik karena:
Mikroorganisme berkurang
Zat organik berkurang sehingga pencemaran kembali berkurang
Air lebih cepat mendidih
Kelor tidak terdapat di semua daerah
Air hasil penjernihan dengan kelor harus segera digunakan dan tidak dapat disimpan untuk hari berikutnya
Penjernihan dengan cara ini hanya untuk skala kecil
Pemanfaatan Chitin dan Chitosan dari Limbah Udang
Limbah udang yang berupa kulit, kepala, dan ekor yang dengan mudah
didapatkan mengandung senyawa kimia berupa chitin dan chitosan. Senyawa
ini dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam
berat yang dihasilkan oleh limbah industri. Hal ini dimungkinkan karena
senyawa chitin dan chitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi
koagulasi, reaktivitas kimia yang tinggi, dan menyebabkan sifat
polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion
exchanger) dan dapat berpungsi sebagai absorben terhadap logam berat
dalam air limbah. Kulit udang yang mengandung senyawa kimia chitin dan
chitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah
yang banyak, yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal.
Chitosan merupakan bahan kimia multiguna berbentuk serat dan
merupakan ko-polimer berbentuk lembaran tipis, berwarna putih atau
kuning, tidak berbau. Kitosan merupakan produk diasetilasi kitin melalui
proses kimia menggunakan enzim kitin diacetilase (Rismana, 2001).
Chitosan (CS), derivat deasetilasi dari chitin terdiri atas
satuan-satuan glukosamine yang terpolimerisasi oleh rantai
ß-1,4-glikosidic (Simunek et al, 2006).
Chitosan (poli-ß-1,4-glucosamine) disiapkan secara komersial dengan
deasetilase basa chitin yang didapat dari eksoskeleton crustacea laut,
chitosan mempunyai nilai pKa kira-kira 6,3 pada nilai pH lebih rendah,
molekulnya bersifat kation karena protonasi dari grup amino. Dengan
adanya sifat-sifat chitin dan chitosan yang dihubungkan dengan gugus
amino dan hidroksil yang terikat, maka menyebabkan chitin dan chitosan
mempunyai reaktivitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat
polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion
exchanger) dan dapat berperan sebagai absorben terhadap logam berat
dalam air limbah ( Hirano, 1986). Karena berperan sebagai penukar ion
dan sebagai absorben, maka chitin dan chitosan dari limbah udang
berpotensi dalam memecahkan masalah pencemaran lingkungan perairan
dengan penyerapan yang lebih murah dan bahannya mudah didapatkan.
Chitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul
tinggi dan merupakan melekul polimer berantai lurus dengan nama lain
β-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-Glukosamin) (Hirano,
1986; Tokura, 1995). Struktur chitin sama dengan selulosa dimana ikatan
yang terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada
posisi β-(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang
terikat pada atom karbon yang kedua pada chitin diganti oleh gugus
asetamida (NHCOCH2) sehingga chitin menjadi sebuah polimer berunit
Nasetilglukosamin (The Merck Indek, 1976). Chitin mempunyai rumus
molekul C18H26N2O10 (Hirano, 1976), merupakan zat padat yang tak
berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali
encer dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya tetapi larut
dalam asam-asam mineral yang pekat. Chitin kurang larut dibandingkan
dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit,
sedangkan chitosan adalah chitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.
Chitosan yang disebut juga dengan β-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosa
merupakan turunan dari chitin melalui proses deasetilasi. Chitosan juga
merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus
fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer, dan skunder. Adanya
gugus fungsi ini menyebabkan chitosan mempunyai kreatifitas kimia yang
tinggi (Tokura, 1995). Chitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam
air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3 PO4,
dan tidak larut dalam H2SO4. Chitosan tidak beracun, mudah mengalami
biodegradasi, dan bersifat polielektrolitik (Hirano, 1986). Di samping
itu, chitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik
lainnya seperti protein. Oleh karena itu, chitosan relatif lebih banyak
digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan induistri kesehatan
(Muzzarelli, 1986).
Chitin dan chitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang digunakan
sebagai absorben untuk menyerap ion kadmium, tembaga, dan timbal dengan
cara dinamis dengan mengatur kondisi penyerapan sehingga air yang
dibuang ke lingkungan menjadi air yang bebas dari ion-ion logam berat.
sumber: http://duniawarnaku.wordpress.com/2012/10/01/koagulan-alami/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar